Diplomat Muda & Bayangan TPPO: Saat Perlindungan Malah Mengundang Ancaman

OPINI

Muhammad Chairul Basyar, S.E., M.Si (Han)

7/18/20253 min read

Kematian Misterius, Pertanyaan yang Mengintip

Ketika Arya Daru Pangayunan (ADP) ditemukan tewas di kamar kos Menteng dengan kepala terlilit lakban, banyak yang mengira ini tragedi seorang diplomat muda—seseorang yang habis-habisan menjalani tugasnya, lalu pulang dalam keadaan fatal. Namun latar belakangnya menyuguhkan gambaran yang jauh lebih kompleks. Tidak hanya soal pekerjaan Kemenlu dalam mengurus WNI, tapi juga dugaan keterlibatan ADP dalam kasus TPPO lintas negara, yang belum sepenuhnya usai.

Pada detik-detik terakhir hidupnya, ADP dikenal aktif mendampingi WNI pulang dari kasus perdagangan manusia di Jepang, Kamboja, dan kawasan lain. Bukan sekretaris pasif—melainkan diplomat yang menelusuri jejak TPPO, mengumpulkan fakta, bertemu pelaku dan korban. Tugasnya bukan sekadar dokumentasi, tapi titik awal penyelamatan, investigasi, dan pemulangan manusia yang nasibnya dilacurkan dalam jaringan gelap internasional.

Bayangan TPPO Masih Hidup

Kemlu menyatakan kasus TPPO yang ditangani ADP sudah “selesai”. Tapi bagaimana bisa suatu “kasus selesai” bila jaringan TPPO itu sering hidup berulang, membentuk cabang baru, memodifikasi modus operandi, dan bergerak di balik batas negara?

Hanya dalam sepekan terakhir, Polda Jawa Barat berhasil membongkar satu sindikat TPPO bayi lintas negara: 13 tersangka, 24 bayi yang dijual ke Singapura, sebagian diatur sejak dalam kandungan, dengan dokumen palsu untuk memuluskan transfer anak-anak ini. Interpol ikut digandeng, menandai bahwa ini masalah global — bukan kasus domestik. Kendati ADP tak langsung menangani bayi-bayi ini, kehadiran kasus semacam itu menegaskan bahwa TPPO bukan sekadar isi arsip lama, tetapi sistem yang terus berkembang dan sulit ditumpas.

Dalam konteks ini, adakah hubungan antara upaya ADP di jalur diplomatik—yang selama ini tampak “sudah selesai”—dengan dinamika baru TPPO yang masih berlangsung? Jika ia mendalami alur itu, informasi apa yang mungkin ia kantongi? Apakah langkah diplomatiknya mengganggu kelompok mafia manusia lintas negara?

Saat Tugas Menjadi Ancaman

Diplomat bertugas bukan hanya mengurus visa, tapi melindungi warga negara. Dan ketika Perlindungan WNI mengarah pada pengungkapan jaringan TPPO, diplomat bukan lagi sekadar perwakilan, melainkan detektor hidup bagi sindikat. Dalam kasus ADP, kehadirannya di persidangan TPPO di Jepang dan Kamboja menandai dia bukan diplomat biasa.

Saat orang memahami rutinitas seorang diplomat—bicara, berdiplomasi, memberi nasihat—kita lupa satu hal: diplomat seperti ADP bergerak di ruang berbahaya. Mereka bergerak di antara korban dan pelaku TPPO, menyusuri lorong gelap perdagangan manusia, dan rawan menjadi sasaran. Yang menyengat: kematiannya melibatkan kekerasan fisik yang mencolok, di atas kain gorden diplomasi yang rentan dibahasi.

Haruskah Negara Abaikan Kaitan yang Lebih Dalam?

Polri menyatakan jalan penyelidikan masih terbuka: bunuh diri atau kekerasan kriminal . Kemlu sendiri meminta masyarakat menunggu hasil resmi dan tidak berspekulasi. Namun, menunggu tidak berarti diam; identitas perannya sebagai saksi TPPO layak jadi bingkai utama. Negara wajib membuka ke publik jalur investigasi yang melindungi dari intervensi eksternal: dari data komunikasi, saksi, bahkan pengamanan sebelum ADP menghadapi sidang TPPO.

Lebih dari itu, negara harus menjelaskan apakah selama kasus berjalan, ADP mendapat perlindungan berlapis. Bila tidak—artinya diplomat yang berhadapan dengan sindikat brutal tak dibiayai tindakan proteksi, jarak antara diplomasi dan bahaya nyata makin melebar.

Apa yang Kita Pelajari

Kasus ADP bukan penghilangan nyawa diplomatik pertama. Sejarah mencatat diplomat yang tewas bukan karena kecelakaan, tapi karena konflik yang ia ungkap. Kini pertanyaannya sederhana tapi berat: apa negara sedia bertindak saat diplomasi melawan sindikat manusia?

Perlu ada tiga hal konkret:

  1. Transparansi penyelidikan TPPO yang pernah ditangani ADP—termasuk dokumen dan saksi yang belum selesai.

  2. Evaluasi keamanan diplomat di lapangan pasar gelap atau jaringan TPPO global.

  3. Perlindungan lanjutan untuk diplomat yang menangani kasus serupa—sebelum tragedi terulang.

Tubuh Gugur, Tapi Jejaknya Tak Boleh Terkubur

Diplomat seperti ADP adalah manusia dan pelindung warga negara. Bila tugas itu mengarah ke jaringan TPPO, ancaman jadi nyata. Negara boleh menunggu hasil penyelidikan, tapi yang terpenting adalah bagaimana negara mengambil langkah proaktif—bukan hanya setelah kehilangan figur pelindungnya, tapi jauh sebelum tragedi menimpa.

Karena ketika diplomat tewas, bukan hanya satu nyawa hilang. Negara kehilangan satu penjaga di garis depan kemanusiaan. Dan ketika TPPO masih bergerak, itu berarti masih banyak diplomat lagi yang berpotensi menjadi target—jika tak ada tindakan nyata untuk melindungi mereka.

Related Stories