Angkatan Siber TNI dan Urgensi Kedaulatan Digital
PERTAHANAN & STRATEGIOPINI


Serangan siber terhadap Pusat Data Nasional (PDN) pada Juni 2024 menjadi peringatan keras bahwa ancaman terhadap kedaulatan negara tak lagi hadir dalam bentuk konvensional. Jutaan data warga terdampak. Layanan publik terganggu. Sistem pemerintahan lumpuh dalam hitungan hari. Lebih dari sekadar gangguan teknis, serangan ini mengungkap betapa rentannya pertahanan digital Indonesia di tengah era yang ditentukan oleh informasi dan kecepatan.
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan Panglima TNI untuk membentuk Angkatan Siber sebagai matra keempat setelah darat, laut, dan udara. Namun, hingga kini, langkah strategis tersebut masih tertahan dalam tataran wacana. Visi sudah ada, tetapi struktur dan implementasinya belum menemukan bentuk.
Ruang Siber sebagai Domain Pertahanan Baru
Lanskap keamanan global telah bergeser. Ancaman tidak lagi datang dari garis batas negara, melainkan dari sinyal yang menyusup ke dalam server, jaringan komunikasi, dan sistem pemerintahan. Ruang siber kini menjadi domain keempat dalam konsep pertahanan modern, sejajar dengan darat, laut, dan udara.
Indonesia tidak sendirian. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, dan bahkan tetangga dekat seperti Singapura telah membentuk satuan atau komando siber nasional. Mereka menyadari bahwa siapa pun yang menguasai ruang digital, akan memegang kendali atas informasi, opini publik, hingga operasi militer.
Dalam konteks ini, pembentukan Angkatan Siber bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi keniscayaan strategis. Sayangnya, regulasi yang ada saat ini belum memadai. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI hanya mengenal tiga matra. Untuk menambahkan satu lagi, dibutuhkan revisi legislasi atau setidaknya political will yang konkret dari lembaga eksekutif dan legislatif.
Kekosongan yang Mengundang Risiko
Ketiadaan struktur resmi Angkatan Siber memunculkan konsekuensi yang tidak kecil. Saat ini, satuan siber tersebar di berbagai institusi: di Angkatan Darat, Laut, Udara, BSSN, hingga Polri. Masing-masing bekerja dengan sistem dan komando sendiri. Tanpa integrasi nasional, celah koordinasi sangat mungkin terjadi. Ketika serangan digital berlangsung secara masif, respons yang lambat atau tumpang tindih hanya akan memperparah dampaknya.
Lebih buruk lagi, kekosongan ini bisa dimanfaatkan oleh aktor non-negara maupun negara pesaing. Dalam dunia siber, batas musuh tidak lagi kasatmata. Mereka bisa menyerang dari belahan dunia mana pun, tanpa harus melewati teritorial fisik negara. Indonesia tidak bisa terus-menerus berada dalam posisi defensif dan reaktif.
Prajurit Siber dan Talenta Digital
Pertahanan digital bukan sekadar soal sistem keamanan dan perangkat keras. Di balik semua itu, faktor manusia tetap menjadi inti kekuatan. Indonesia perlu memikirkan bagaimana mencetak prajurit siber yang memiliki keahlian teknologi tinggi, sekaligus memahami strategi militer dan etika tempur digital.
Ini berarti TNI harus membuka diri terhadap kolaborasi lebih luas. Dunia akademik, industri teknologi, dan lembaga riset harus dilibatkan sejak awal. Universitas seperti ITB, ITS, dan Universitas Pertahanan bisa menjadi mitra strategis dalam mencetak talenta digital berbasis militer. BUMN dan startup teknologi juga bisa berperan sebagai mitra inovasi.
Kita tidak bisa membangun kekuatan siber hanya dengan membeli sistem dari luar. Kemandirian teknologi dan penguasaan SDM adalah fondasi utama. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi pengguna sistem, bukan pemilik kekuatan.
Urgensi Diplomasi Siber
Ancaman digital bersifat global, dan tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya kebal dari serangan. Oleh karena itu, membangun kekuatan siber tidak cukup dilakukan secara internal. Indonesia perlu aktif memperkuat kerja sama internasional dalam isu pertahanan siber.
Forum-forum seperti ASEAN Defense Ministers' Meeting (ADMM-Plus), serta kemitraan strategis dengan negara seperti Singapura, Korea Selatan, atau Amerika Serikat dapat dimanfaatkan untuk membangun protokol bersama, berbagi informasi intelijen, hingga menggelar latihan gabungan.
Diplomasi siber bukan hanya tentang menghadapi ancaman, tetapi juga menciptakan ekosistem keamanan digital yang saling melindungi. Sebagaimana pertahanan udara membutuhkan sistem radar regional, pertahanan siber pun butuh jejaring internasional.
Dari Wacana ke Aksi Nyata
Serangan ke PDN hanyalah satu dari sekian banyak alarm yang telah berbunyi. Sebelumnya, berbagai instansi juga pernah disusupi ransomware, akun pemerintahan diretas, dan data sensitif bocor ke publik. Semua itu seharusnya cukup menjadi pelajaran bahwa Indonesia tidak bisa lagi menunda.
Kini, yang dibutuhkan adalah keberanian politik. Bukan sekadar membentuk satuan ad hoc, tetapi menciptakan matra yang memiliki struktur, mandat, dan anggaran tersendiri. Integrasi lintas sektor, kejelasan komando, dan percepatan legislasi menjadi syarat mutlak agar pembentukan Angkatan Siber TNI tidak berhenti sebagai jargon.
TNI telah membuktikan profesionalismenya di darat, laut, dan udara. Kini saatnya mengukuhkan kehadiran di domain keempat: ruang siber. Ini bukan pilihan, tetapi tuntutan sejarah.
Kedaulatan Tidak Lagi Hanya Fisik
Di era digital, kedaulatan bukan hanya soal batas wilayah dan kekuatan militer konvensional. Kedaulatan kini juga menyangkut kendali atas data, sistem, dan kepercayaan publik terhadap negara. Ketika informasi menjadi senjata, maka kekuatan siber adalah garda terdepan pertahanan.
Jika pertahanan digital adalah pertempuran hari ini, maka kita tidak boleh lagi menundanya untuk esok.